Pernyataan
di atas nampaknya tidak memiliki perbedaan dan terkait kasus bahasa
semata. Dalam kaidah bahasa Indonesia ada hukum D-M (diterangkan -
menerangkan) dan M-D (menerangkan - diterangkan). Frasa “Kristen Jawa”
memenuhi unsur hukum D-M yang bermakna ada orang Kristen beretnis Jawa.
Sementara frasa “Jawa Kristen” sebagaimana dalam bahasa Inggris
“Javanis Christian” memenuhi unsur hukum M-D yang bermakna “ada orang
Jawa yang beragama Kristen”.
Namun
dalam kajian kali ini, kedua istilah tersebut saya konfrontasikan dan
saya lepaskan dari kategori-kategori kajian bahasa. Saya menggunakan
dua istilah tersebut dalam kategori filosofis dan teologis. Frasa
“Kristen Jawa” saya maksudkan sebagai orang Kristen yang lebih
dipengaruhi oleh berbagai cara pandang kehidupan dan kebudayaan Jawa.
Sementara frasa “Jawa Kristen” saya maksudkan sebagai orang Jawa yang
lebih dipengaruhi nilai-nilai Kristen. Sekalipun sama-sama keduanya
mengklaim Kristen atau Jawa namun keduanya akan menghasilkan perbedaan
dalam sikap dan penilaian terhadap kejadian di sekitarnya. Istilah
“Kristen Jawa” tidak terkait dan tidak ada hubungannya dengan nama
“Gereja Kristen Jawa”.
Peristilahan
yang saya buat di atas merupakan refleksi kritis dan keprihatinan diri
saya atas pemahaman terhadap ajaran-ajaran Yesus Sang Mesias yang
kerap terdistorsi dan terbelenggu dalam pasungan pemahaman kebudayaan
Jawa. Saya kerap menjumpai bagaimana orang Kristen yang beretnis Jawa
tidak mampu membedakan praktek okultisme (kuasa gelap) dengan kuasa
Yesus yang sejati. Saya seringkali mendapati banyak orang Kristen dari
etnis Jawa tidak melakukan tinjauan kritis atas penggunaan unsur-unsur
budaya Jawa yang tidak selaras dengan ajaran Yesus Sang Mesias. Saya
sering menjumpai pemahaman orang Kristen beretnis Jawa yang
mencerminkan pemahaman akidah tentang Tuhan dan manusia yang tidak
berdasarkan Kitab Suci melainkan bersumberkan falsafah spekulatif.
Sayapun tertantang dengan pernyataan M. Suprihadi Sastrosupono yang mengatakan demikian, “Barangkali
dari beberapa sikap yang dasar dalam diri orang Jawa itu, dapat kita
mengerti mengapa orang jawa yang Kristen pun akan mempunyai
kecenderungan yang sama. Dapat pula dimengerti mengapa orang Jawa dan
juga orang Kristen Jawa, amat sulit untuk melepaskan diri dari pengaruh
adat istiadat Jawanya”[1]. Benarkah demikian? Dan apakah sikap demikian yang seharusnya ada pada orang Jawa Kristen?
Oleh
karenanya saya akan mengawali dengan melakukan sebuah eksegese teks
sebagai titik berangkat pemahaman sebagai orang Jawa Kristen.
Titik berangkat pembahasan kita awali dengan pengkajian atas teks Kolose 2:6-15. Pada ayat 6 dikatakan, “Kamu telah menerima Mesias Yesus, Junjungan Agung kita...”. Dalam bahasa Yunani ayat ini berbunyi: “hos parelabete ton Christon Iesoun ton Kurion”. Dalam bahasa Ibrani ayat ini berbunyi: “laken kaasyer qibaltem et ha Mashikah et Yeshua Adonenu”. Dalam bahasa Aramaik ayat ini berbunyi: “aikana hakil deqabeltum li Yeshu Meshikha Maran”.
Rasul Paul sangat dominan menggunakan sapaan Kurios (Junjungan Agung) dan Christos (Mesias/Yang Diurapi) bagi Yesus (Kisah Rasul 16:31, Roma 10:9, 1 Korintus 8:6, 1 Korintus 12:9, dll). Kata kurios berkaitan dengan kata kuriotes yang artinya “kekuasaan”. Kata kuriotes muncul beberapa kali dalam Yudas 1:9, “Namun demikian orang-orang yang bermimpi-mimpian ini juga mencemarkan tubuh mereka dan menghina kekuasaan (Tuhan) serta menghujat semua yang mulia di sorga”. Frasa “kekuasaan Tuhan” diterjemahkan dari bahasa Yunani kurioteta. Demikian pula dalam Kolose 1:6 sbb: “Karena
di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan
yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik
singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia”. Kalimat, “penguasa” dipergunakan bahasa Yunani kuriotetes. Dan akhirnya dalam Efesus 1:21 sbb: “Jauh lebih tinggi dari segala pemerintah dan penguasa dan
kekuasaan dan kerajaan dan tiap-tiap nama yang dapat disebut, bukan
hanya di dunia ini saja, melainkan juga di dunia yang akan datang”. Kata “penguasa” di ayat ini dipergunakan kata kuriotetos.
Dari kajian ayat di atas, Yesus disapa dengan kurios
(Tuan/Junjungan Agung Yang Ilahi) bermakna bahwa Dia memiliki pengaruh
dan kuasa yang dinyatakan dalam ajaran dan tindakan penyembuhan dalam
karya Mesianis-Nya.
Sayangnya di Indonesia, kata kurios
bagi Yesus selalu diterjemahkan dengan Tuhan, sehingga menimbulkan
kerancuan pemahaman bagi Muslim dalam memahami konsep Ketuhanan dalam
Iman Kristen. Sementara dalam kalangan Kristen sendiri kurang menyadari
persoalan peristilahan ini.
Lembaga Alkitab Indonesia sendiri melakukan inkonsistensi terjemahan terhadap kata kurios. Jika Anda mengerti bahasa Yunani, kata “Tuan-tuan” dalam Kisah Rasul 16:30 dipergunakan kata ganti jamak kurioi dari kata kurios, sementara kata “Tuhan Yesus Kristus” dalam terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia, dipergunakan kata ganti tunggal kurion dari kata yang sama yaitu kurios. Namun mengapa LAI menerjemahkan kata kurioskurios
dalam Kisah Rasul 16:30-31 sama-sama diterjemahkan “Tuan”. yang satu
dengan “Tuan” sementara yang satu dengan “Tuhan?” Ini suatu
inkonsistensi. Maka seharusnya secara literal (harafiah) kata kurios selayaknya diterjemahkan dengan Tuan atau Junjungan Agung.
Kritik saya atas penerjemahan kata kurios
menjadi tuan dan junjungan agung sempat menimbulkan pro dan kontra dan
perdebatan serta kesalahpahaman. Ada yang menuduh saya tidak mengakui
ketuhanan Yesus, ada yang menuduh saya mengadopsi pandangan Saksi
Yehuwa dll. Namun tidak kurang yang mulai tersadar akan kekeliruan ini
dan mulai perlahan-lahan belajar memahami arti penyebutan tuan atau
junjungan agung bagi Yesus Sang Mesias[2].
Kembali kepada teks, “Kamu telah menerima Mesias Yesus, Junjungan Agung kita...”
kata “kamu” dalam ayat ini menunjuk pada sekumpulan orang-orang yang
menerima Yesus sebagai Mesias dan Juruslamat mereka. Mereka bukan dari
golongan Yahudi melainkan dari golongan non Yahudi. Mayoritas jemaat
Mesias di Kolose adalah orang-orang non Yahudi. Rasul Paul menyebut
mereka dengan istilah “jauh dari Tuhan” (1:21), “bangsa-bangsa lain”
(Kol 1:27), “tidak disunat” (Kol 2:13). Ayat ini menggambarkan kondisi
awal orang-orang yang baru mengalami pertobatan dan kelahiran baru.
Namun ayat ini tidak berhenti sampai di sini. Kebanyakan orang Kristen
sudah puas dengan menyebut dirinya Kristen. Namun ini belum sepenuhnya
menjelaskan siapa diri kita di hadapan Tuhan.
Kita harus melangkah lagi sebagaimana dikatakan, “Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia”. Dalam naskah Yunani dituliskan, “en autooi peripateite”. Dalam naskah Aramaik dituliskan “beh haleku”. Dalam terjemahan bahasa Ibrani dituliskan, “ken gam tithaleku lepanaiw”. Seharusnya ayat tersebut diterjemahkan, “demikianlah hendaknya engkau berjalan dalam kepercayaan itu”. Kata Ibrani dan Aramaik halak berbicara mengenai gaya hidup. Dengan kata lain gaya hidup pengikut Mesias yang berpusatkan pada kehidupan dan ajaran Mesias.
Tahapan berikutnya adalah, “Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur”
(ay 7). Rasul Paul menggunakan tiga kata pasif dalam bahasa Yunani
(berakar, dibangun, bertambah teguh) dan satu kata aktif dalam bahasa
Yunani (melimpah dengan syukur). Apa artinya bagi kita? Tiga kata pasif
di atas menunjukkan ketundukkan dan ketaatan diri kita untuk senantiasa
berada di dalam Dia. Dan satu kata aktif berikutnya menunjukkan bahwa
kita harus menjadi orang beriman yang berbuah. Pengucapan syukur yang
keluar dari hati adalah sikap dan buah iman orang yang terlah percaya
dalam Yesus Sang Mesias.
Setelah
kita mengenal dan menerima Yesus sebagai Juruslamat kita, apakah kita
hanya berpuas diri dengan disebut sebagai orang Kristen atau
sebaliknya, kita berjalan di dalam Dia dan mengakar kuat dalam keimanan
kita serta mengalami pertumbuhan?
Selanjutnya
Rasul Paul memberikan peringatan bagi mereka yang telah menerima
ajaran Yesus Sang Mesias agar mereka bukan hanya harus berakar dan
bertumbuh di dalam Dia namun mewaspadai godaan kehidupan lama yang akan
menawan kehidupan kita yang baru. Godaan itu berupa pandangan hidup,
falsafah, pemahaman yang berlawanan dengan Mesias sebagaimana
dikatakan, “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Mesias” (ay 7). Kata “menawan” dalam teks Yunani dipergunakan kata sulogoogoon yang bermakna “memperbudak”.
Dalam
ayat di atas Rasul Paul memgontraskan kehidupan lama dengan kehidupan
yang baru. Pemahaman lama dengan pemahaman yang baru. Falsafah lama
dengan falsafah yang baru. Semua pemahaman dan pandangan hidup harus
diuji dan dinilai berdasarkan ajaran Yesus Sang Mesias. Adakah seluruh
pandangan hidup dan filosofi hidup kita berdasarkan ajaran Mesias atau
berdasarkan falsafah dunia yang didasarkan pada ajaran turun temurun
atau berdasarkan roh-roh dunia.
Apakah
yang dimaksudkan dengan filsafat yang kosong dan palsu dalam ayat ini?
Apakah bermakna kita harus menolak filsafat? Sekalipun dipergunakan
kata philosophias dalam ayat ini, bukan bermakna kita harus menjauhi
dan membuang ilmu filsafat dan memandangnya sebagai produk pemikiran
setan dan kekafiran. Filsafat dari kata philo yang bermakna cinta dan sophia
yang artinya kebijaksanaan. Filsafat berbicara mengenai
kebijaksanaan.Filsafat berbicara mengenai bagaimana memperoleh
pengetahuan. Filsafat berbicara mengenai bagaimana menjelaskan seluruh
kejadian dalam alam semesta. Filsafat berusaha untuk mencari tahu
jawaban dari berbagai persoalan di dunia ini.
Yang
kita tolak adalah filsafat yang tidak di dasarkan pada ajaran Yesus
Sang Mesias melainkan filsafat yang didasarkan pada ajaran turun
temurun dan roh-roh dunia. Untuk memahami lebih jauh konteks ayat ini,
kita harus memahami terlebih dahulu bahwa kota Kolose di mana Rasul
Paul menuliskan suratnya merupakan kota yang dipenuhi dengan
percampuran berbagai ajaran asing. Maklum saja karena letaknya yang
merupakan jalur perdagangan yang menghubungkan Barat dan Timur, sehingga
terjadi berbagai percampuran agama dan pandangan hidup. Robert H.
Gundry mengatakan, “The Epistle to the Colossian centers around the
so caled Colossian heresy...The Colossian heresy, then blended Jewish
legalism, Greek philosophis speculation and Oriental myticism”
(surat kepada orang Kolose berpusat pada apa yang disebut bidat
Kolose...bidat Kolose merupakan campuran antara legalisme Yahudi,
filsafat Yunani yang spekulatif dan mistisisme timur)[3].
Berkaca
dari pengkajian kita atas ayat di atas, bagaimanakah sikap kita dalam
menilai kebudayaan dan pandangan hidup yang telah kita warisi sebelum
kita menerima Mesias atau bersamaan kita telah menerima Mesias?
Khususnya sebagai orang Jawa, bagaimanakah sikap kita terhadap kejawaan
kita? Bagaimanakah sikap kita terhadap berbagai ekspresi kebudayaan dan
pandangan hidup Jawa?
Ada tiga sikap terhadap kebudayaan. Pertama, melawan dan membuang sama sekali kebudayaan. Kedua, menerima dan mengabungkan kebudayaan dan iman. Ketiga, mengambil jarak dan memilah kebudayaan mana yang masih dapat dipertahankan untuk mengekspresikan iman.
Saya
mengambil pilihan yang terakhir yaitu mengambil jarak dan memilah
kebudayaan mana yang masih dapat dipertahankan untuk mengekspresikan
iman. Dan sikap ini lebih dekat dengan apa yang dikatakan dalam Kolose
2:8.
Dalam
pilihan ini, saya tidak memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang
jahat dan harus dibuang sama sekali. Pemahaman saya didasarkan atas
pembacaan teks Kejadian 1:27. Manusia adalah ciptaan YHWH yang
diciptakan berdasarkan gambar dan keserupaan dengan-Nya. Maka berbagai
ekspresi kebudayaan manusia adalah ekspresi kesadaran spiritual dan
rasional mereka sebagai ciptaan yang berdasarkan gambar dan keserupaan
dengan Tuhan. Contoh ekspresi kebudayaan manusia adalah, seni, politik,
hukum, ilmu pengetahuan, dll. terlepas siapa yang mereka yakini sebagai
tuhan.
Namun
karena manusia pada Pasal 3 telah mengalami kejatuhan dalam dosa,
sehingga merusak gambar dan keserupaan dengan Tuhan di dalam diri-Nya,
bahkan merusak hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan hewan dan
tumbuhan serta manusia dengan manusia, maka ekspresi kebudayaan
manusiapun mengekspresikan dosa dan kerusakan gambar dan keserupaannya
dengan Tuhan. Ekspresi dosa dan pemberontakan ini nampak dalam bentuk
penyembahan berhala, tarian-tarian yang dirasuki roh-roh jahat,
upacara-upacara ritual yang bersifat satanis.
Kita
telah menerima Yesus Sang Mesias sebagai Juruslamat. Namun tidak dapat
disangkal bahwa kita adalah orang beriman yang lahir dari kebudayaan
tertentu khususnya Jawa. Kita tidak perlu membuang warisan kebudayaan
Jawa seluruhnya. Kita harus memilih dan memilah dengan sebuah kategori
“yang tidak berdasarkan Mesias” itulah yang harus kita buang.
Kebudayaan Jawa adalah jangkep (lengkap) dan adi luhung
(agung). Di dalam kebudayaan Jawa kita menerima warisan kesenian
seperti wayang dan seni tari yang sarat simbol dan filosof hidup. Di
dalam kebudayaan Jawa kita menerima seni tembang macapat yang berisikan
tahapan hidup manusia dari lahir sampai mati yang diguratkan dalam
untaian nada dan nama berdasarkan perkembangan manusia.
Tembang
jawa mocopat dapat digolongkankan menjadi 11 tembang, yang
menggambarkan jalannya kehidupan manusia sejak didalam kandungan ibunda
sampai meninggalnya untuk menghadap Yang Maha Kuasa, yaitu:[4]
Maskumambang: Melambangkan
embrio yang masih dalam kandungan ibunya, yang belum diketahui laki
atau perempuan. Mas, artinya belum diketahui laki atau perempuan,
sedangkan Kumambang, artinya hidupnya masih dialam kandungan ibundanya.
Mijil: Artinya sudah lahir didunia jenis kelamin laki atau perempuan
Kinanthi: Berasal dari kata kanthi atau menuntun, yang artinya dituntun supaya dapat berjalan didunia ini.
Sinom: Artinya pemuda/remaja, disini yang terpenting bagi remaja agar bisa menuntut ilmu yang setinggi-tingginya.
Asmarandana: Artinya
mempunyai rasa cinta kasih kepada sesamanya baik itu pria maupun
wanita, karena semua itu sudah merupakan kehendak/kodrat Yang Maha
Kuasa.
Gambuh: Berasal
dari kata nyambung/sesuai yang artinya kalau sudah pas selanjutnya
dijodohkan antara pria dan wanita yang sudah saling mencintai, dengan
harapan dapat menjalin kehidupan yang langgeng.
Dhandanggula: Menggambarkan
seseorang yang berbahagia, apa yang dicita-citakan dapat terlaksana.
Terlaksana mempunyai pasangan, mempunyai rumah, kehidupan yang
kecukupan untuk keluarganya. Makanya seseorang yang sedang menemukan
kebahagiaan dapat dikarakankan ibaratn lagunya dandanggula.
Dhurma: Berasal
dari kata pemberi. Seseorang yang merasa kecukupan hidupnya kemudian
tergugah rasa kasihan kepada sanak saudara yang sedang menderita,
makanya tergugah ingin membantu dan memberi pertolongan kepada siapa
saja. Semua itu diberikan pertolongan sesuai ajaran agama dan rasa
sosialnya kepada sesama.
Pangkur: Berasal
dari kata meninggalkan yang artinya menghindari hawa nafsu yang
angkara murka, semua yang dipikirkan senantiasa berkeinginan membantu
kepada sesamanya.
Megatruh: Berasal dari kata lepas rohnya atau mati, karena sudah saatnya dipanggil menghadap kepada Yang Maha Kuasa.
Pocung: Kalau sudah menjadi bangkai kemudian dibungkus dengan kain putih atau dipocong sebelum dikebumikan.
Di dalam budaya Jawa kita menerima warisan pandangan hidup yang diuntai dalam kalimat-kalimat bijaksana seperti: Sura
diro joyo ningrat lebur dening pangastuti, aja adigang adigung
adiguna, datan serik lamun ketaman datang susah lamun kelangan, banter
tan mbancangi dhuwur tan ngungkuli, aja gumunan aja kagetan aja getunan
aja aleman, alon alon waton kelakon, sapa nandhur bakal nundhuh, becik
ketitik ala ketoro, dll.
Namun
di dalam kebudayaan Jawa, kita pun menerima sejumlah ritual-ritual
adat yang tidak mencerminkan keimanan pada Tuhan yang benar seperti
tradisi ruwatan untuk membuang sial, selametan terhadap yang mbaurekso d suatu tempat yang dianggap wingit,
tolak bala diseputar kehamilan dan kelahiran jabang bayi. Keberadaan
roh-roh jahat dalam pemahaman Jawa terkadang bukan musuh yang harus
diperangi semata-mata namun dijadikan teman atau mahluk Tuhan yang harus
dituruti segala kemauannya dengan berbagai sesaji dan selamatan.
Dalam kebudayaan Jawa pun kita menerima pemahaman tentang manusia yang memiliki sedulur papat lima pancer
alias kembarannya secara spiritual yang kelak dapat menolong dan
menuntun orang tersebut dalam menghindari hal-hal yang akan
mencelakakannya.
Terkait
dengan frasa “Orang Jawa Kristen”, saya hendak menegaskan posisi
sebagai orang Jawa yang tetap bangga dengan kejawaaannya dan tetap
memelihara aspek-aspek positip kebudayaan Jawa namun di sisi lain, saya
harus mengambil jarak dengan semua aspek kebudayaan Jawa dan
menghadapkannya kepada Sang Kristus atau Sang Mesias. Adakah berbagai
konsep yang saya adopsi atau anut tersebut bertentangan dengan ajaran
Mesias atau mendukung. Jika mendukung maka kita dapat adopsi namun jika
bertentangan maka selayaknya kita singkirkan.
Jika
kita membuang sepenuhnya warisan kebudayaan Jawa maka kita telah
mengalienasi diri kita alias mengasingkan diri dari akar dan asal usul
kita. Jika kita concern dengan visi kembali ke akar Ibrani iman
Kristen dan seluruh aspeknya, mengapa pula kita justru mencerabutkan
diri kita dari akar budaya lokal kita sebagai orang Jawa?
Mengapa
kita harus menghadapkan seluruh pandangan hidup kita yang kita warisi
dari leluhur dan nenek moyang kita yang terangkum dalam kebudayaan
Jawa, kepada Sang Mesias? Pertama, karena Mesias adalah tolok ukur keimananan dan perilaku hidup kita. Rasul Paul melanjutkan mengatakan dalam suratnya sbb: “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keTuhanan,dan kamu telah dipenuhi di dalam Dia. Dialah kepala semua pemerintah dan penguasa. (9-10).
Apa arti “ta plerooma tes theotetos?”
yang diterjemahkan “seluruh kepenuhan ke-Tuhanan?” Bahwasanya kuasa
dan kekuatan Tuhan yang menjelma melalui Firman-Nya yang menjadi
manusia, berada seutuhnya dalam diri Yesus Sang Mesias. Yesus adalah
ukuran nilai dalam kehidupan iman kita karena Dia adalah kepala semua
pemerintah dan penguasa.
Kedua, karena Mesias telah melakukan karya penyelamatan atas diri kita sebagaimana dikatakan: “Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Mesias,
yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa, karena dengan
Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut
dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Tuhan, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati. Kamu
juga, meskipun dahulu mati oleh pelanggaranmu dan oleh karena tidak
disunat secara lahiriah, telah dihidupkan Tuhan bersama-sama dengan Dia,
sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran kita, dengan menghapuskan
surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam
kita. Dan itu ditiadakan-Nya dengan memakukannya pada kayu salib: Dia
telah melucuti pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa dan
menjadikan mereka tontonan umum dalam kemenangan-Nya atas mereka” (12-15).
Itulah
alasan mengapa kita harus menghadap mukakan seluruh pandangan hidup
yang telah kita warisi dari leluhur dan nenek moyang kita dalam bingkai
kebudayaan Jawa, kepada Yesus Sang Mesias.
Saya
mengagumi ketokohan Kiai Sadrach Soeropranoto (1835-1924). Beliau
adalah contoh dan teladan sebagai orang Jawa Kristen. Sadrach adalah
pekabar Injil Jawa sekaligus pendiri komunitas Kristen Jawi Mardika di
Karangyoso, Kutoarjo[5].
Sejumlah
tokoh pekabaran Injil Jawa tersebut adalah Coolen, Tunggul Wulung,
Paulus Tosari. Jika tokoh-tokoh tersebut berkarya di wilayah Jawa
Timur, maka tokoh yang berkarya di Jawa Tengah dengan pusat kegiatan
Karangyoso, Kutoarjo adalah Kiai Sadrach Suropranoto. Tanpa bermaksud
membedakan ketokohan mana yang lebih penting namun sejauh ini saya
menaruh minat yang dalam untuk meneliti karya pekabaran Injil Kiai
Sadrach. Mengapa? Karena kisah kehidupan dan pelayanan Sadrach sarat
dengan kontroversi yang menarik untuk diteliti. Sikap kontroversialnya
bukan dikarenakan dia adalah orang suka dengan hal-hal nyleneh melainkan
didasarkan keteguhan sikap dan pemahaman teologisnya yang memadai. C.
Guillot memberikan penilaian tentang Sadrach sbb: “Sebagaimana
halnya Coolen, Ibrahim pun kurang terpelajar. Keduanya memiliki sikap
‘orang lapangan’, berbda dengan Tosari dan Sadrach yang lebih memiliki
figur ‘intelektual’ dengan membaca dan menafsirkan Kitab Suci”[6]
Sadrach
disalahpahami oleh orang-orang Kristen Belanda yang berada di Jawa
sebagai penyesat karena lebih memperkenalkan kekristenan sebagai
ngelmu. Penilaian tersebut terjadi dikarenakan faktor kesalahpahaman
dan sikap-sikap apriori terhadap ekspresi dan penghayatan Jawa dalam
keimanan.
Ada
dua hal yang ingin saya soroti perihal Sadrach yaitu pemahaman
Kristologi dan Soetriologinya dan yang kedua pemahamannya terhadap adat
istiadat dan kebudayaan Jawa.
Sekalipun
pola pendekatan pekabaran injil Sadrach dituduh mempraktekan ngelmu
namun sejatinya Sadrach memiliki pemahaman tentang Yesus tepat
sebagaimana dikatakan Kitab Suci. Sadrach telah mengalami perjumpaan
spiritual dengan Juruslamat-Nya yang mempengaruhi seluruh motofasinya
dalam memberitakan Injil. Metode pekabaran Injil Sadrach sangat menarik
al., diskusi dan perdebatan antara guru ngelmu serta pemimpin
pesantren yang beliau datangi. Banyak yang mengaku kalah hikmat dengan
Sadrach dan akhirnya mengikuti Sadrach sebagai guru. Pusat pemberitaan
Sadrach berpusat pada (1) kuasa Yesus dan (2) kebangkitan Yesus serta
(3) Yesus sebagai Ratu Adil. Soetarman Soediman Partonadi menjelaskan
sbb: “Konsep Yesus sebagai guru dan Yesus sebagai ratu adil adalah sosok-sosok yang mudah ditrima oleh orang-orang Kristen”[7] Selanjutnya beliau memberikan penjelasan, “Harus
dicatat bahwa kristologi dan soteriologi Sadrach yang dikembangkan
dalam konteks Jawa menekankan unsur yang sangat penting dari Injil
tetapi kurang ditekankan dalam teologi pekabar Injil Belanda.
Unsur-unsur semacam itu termasuk pentingnya perbuatan baik, kesalehan,
disiplin diri, ketaatan kepada hukum (Tuhan), mengikuti teladan Kristus
dan pelayanan kesembuhan serta pengusiran setan...Mengikuti jejak Sang
Guru Yesus sebagai guru dan panutan yang sempurna, saleh serta penuh
kuasa dan berwibawa yang diberitakan oleh Sadrach itu pada hakikatnya
merupakan Kristologi Sadrach”[8]
Mengenai
pemahaman terhadap kebudayaan, ternyata Sadrach tidak begitu saja
melakukan sinkretisasi budaya Jawa dengan keimanannya kepada Yesus Sang
Mesias. Beliau dengan seksama memilih dan memilah budaya mana yang
masih dapat dipertahankan dan dipelihara untuk mengekspresikan iman
Kristen. Soetarman Soediman Partonadi kembali mengulas, “Dalam usaha
penyelarasan itu, sadrach mengambil alih banyak unsur dari Islam
abangan, misalnya sistem pendidikan paguron, hubungan guru murid, dan
pemanfaatan guru-guru setempat untuk berfungsi sebagai imam
jemaat-jemaat setempat. Dia juga mempertahankan adat istiadat Islam
seperti pemisahan tempat duduk bagi laki-laki dan perempuan di gereja,
penggunaan kerudung bagi perempuan, penggunaan istilah mesjid untuk
gereja dan imam untuk para pemimpin mereka”[9]
Penggunaan
tembang Jawa untuk menghafalkan doa Bapa Kami, doa pagi, doa malam,
doa makan, Pengakuan Iman sangat efektif mendaratkan Injil pada orang
Jawa. Soetarman menuliskan, “Penggunaan tembang untuk
mengkomunikasikan Injil memiliki arti penting. Tembang telah digunakan
dalam kesustraan Jawa selama nberabad-abad dan merupakan bentuk
komunikasi yang sangat populer. Tembang terutama digunakan dalam
pengajaran moral dan etika, khususnya dalam kesusastraan Jawa kuno”[10].
Yang
tidak kalah menariknya adalah pembuatan bangunan Gereja dengan format
masjid dengan susunan atap lapis tiga yang melambangkan Bapa-Anak-Roh
Kudus. Di atas atap ada baling-baling berbentuk pusaka senjata Pasopati (pusaka Arjuna) dan senjata Cakra
(pusaka Prabu Kresna) yang melebur jadi satu. Makna lambang tersebut
bahwasanya kematian Yesus Sang Mesias telah melebur dosa dan
kebangkitan-Nya harus diwartakan ke delapan penjuru mata angin.
Kiranya
ketokohan dan kecerdasan bahkan spirit memberitakan Injil yang tidak
melepaskan diri dari akar konteks kebudayaan Jawa yang telah
diteladankan Sadrach, dengan tanpa mengorbankan isi iman Kristen,
menginspirasi kita sebagai orang Jawa Kristen untuk melakukan tugas
agung yang sama seperti yang telah beliau kerjakan puluhan tahun lampau.
Wusana
kata, marilah kita membebaskan diri dari ketertawanan dari
belengu-belenggu pemahaman dan falsafah yang diwariskan dari nenek
moyang dan leluhur kita dan menghadapmukakan pada kaki Sang Kristus,
Mesias Anak Tuhan yang bernama Yesus atau Yahshua ha Mashiakh itu,
sehingga terang Injil dan kuasa penyelamatan Yesus Sang Mesias boleh
mengubahkan seutuhnya diri kita menjadi serupa dengan-Nya, Amen we Amen.
Ddhadia Wong Jawa Ingkang Ngristeni, Ojo Dhadhi Wong Kristen Ingkang Njawani
End Notes:
[1] Sinkretisme dan Orang Kristen Jawa,Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 1984, hal 6
[2] Lihat kajian-kajian saya dengan judul Pemahaman Tentang Hakikat YesusPemahaman Tentang Penyebutan Kurios Bagi Yesus (http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/02/pemahaman-mengenai-sebutan-kurios-bagi.html), Meluruskan Kesalahpahaman Diseputar Keilahian Yesus
(http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/02/meluruskan-kesalahpahaman-seputar.html)
(http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/02/yesus-sang-firman-hidup-pemahaman.html),
[3] A Survey of the New Testament, Michigan: Zondervan Publishing House, 1981, p.291-292).
[4] Makna Tembang Mocopat, http://tunggakjarakmrajak.blogspot.com/2010/05/ajaran-filsafat-jawa.html):
[5] Menimbang Karya Pekabaran Injil Kiai Sadrach Suropranoto: Menyelaraskan Akar Historis Kekristenan dan Akar Kebudayaan Lokal (http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/02/menimbang-karya-pekabaran-injil-kiai.html)
[6] Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa, Jakarta: Grafiti Pers, 1981, hal 45
[7] Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya, Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Yogyakarta: TPK, 2001, hal 266
[8] Ibid., hal 267
[9] Ibid., hal 250
[10] Ibid., hal 162
Sumber: http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/04/saya-orang-jawa-kristen-bukan-orang.html
Artikelnya Bagus gan :D
ReplyDeleteJgn lupa Mampir Balik
Andrekocak Blog
Trik SEO Terbaru
Prediksi Angka Hari Ini
Cerita Dewasa Terbaru
Artikelnya Bagus gan :D
Jgn lupa Mampir Balik
Andrekocak Blog
Trik SEO Terbaru
Prediksi Angka Hari Ini
Cerita Dewasa Terbaru