Pada mulanya istilah Injili (Evangelical) ditujukan kepada para penulis dalam gereja Roma Katolik di abad ke-16 yang pemikirannya cenderung mengutamakan keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik kelakuan yang alkitabiah. Mereka menekankan pentingnya membaca Alkitab, iman kepada Yesus sebagai Juruselamat pribadi, dan kesalehan hidup. Pada awalnya kelompok yang dimotori para kardinal ini tidak dianggap berbahaya, dan bahkan diterima sebagai gerakan penyegaran rohani. Namun, pada masa Reformasi kelompok ini dipandang sebagai pendukung gerakan Reformasi, dan dengan demikian dianggap anti Katolik. Gereja yang didirikan Luther dan para pengikutnya yang memisahkan diri dari gereja Roma Katolik disebut Evangelische Kirche (terjemahan harfiah: Gereja Injili). Baru pada ke-17 istilah Protestan semakin populer dan menggantikan istilah Injili. Namun demikian ada beberapa gereja Kristen Protestan yang masih tetap menggunakan nama Injili, termasuk beberapa gereja arus utama yang ada di Indonesia seperti GMIM, GMIT, GMIH, GMIST, dan sebagainya. Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) malah menggunakan istilah bahasa Jerman Evangelische tanpa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Penjelasan di atas kita perlukan agar kita memahami latar belakang pemakaian istilah Injili oleh gereja-gereja Protestan arus utama tersebut dan tidak mencampuradukkannya dengan gerakan Injili yang muncul kemudian di pertengahan abad ke-20.
Untuk membedakan dengan gerakan Injili abad ke-16, gerakan yang muncul kemudian ini disebut sebagai Neo-Evangelical. Namun, sekarang gerakan ini lebih dikenal dengan nama Evangelical (Injili) saja. Gerakan inilah yang hendak kita bahas lebih lanjut, dan istilah “Injili” yang digunakan dalam tulisan ini merujuk kepada gerakan ini. Gerakan ini muncul dan berkembang secara mencolok di Amerika pada tahun 1940-an. Munculnya gerakan ini tidak bisa dipisahkan dari aliran yang pernah populer sebelumnya, yaitu fundamentalisme. Meskipun sesungguhnya antara kaum Injili dan kaum fundamentalis terdapat perbedaan-perbedaan penting, namun ajaran Injili memang sering dipandang sebagai penerus paham fundamentalisme. Karena itu, kita harus juga berkenalan dengan faham fundamentalisme.
Fundamentalisme adalah suatu gerakan yang muncul di lingkungan gereja-gereja Protestan di Amerika pada awal abad ke-20. Gerakan ini menyerukan kesetiaan yang teguh dan militan terhadap dasar-dasar iman kristiani (fundamentals of faith), khususnya mengenai lima butir berikut ini: (1) pengilhaman dan kemutlakan Alkitab, dalam pengertian bahwa setiap kata dalam Alkitab berasal dari Allah, (2) keilahian Kristus dan kelahiran-Nya dari anak dara, (3) kematian Kristus sebagai ganti dan penebus manusia, (4) kebangkitan-Nya secara jasmani, dan (5) kedatangan-Nya kedua kali. Terkait dengan dasar-dasar iman tersebut, gerakan fundamentalisme mengambil sikap yang kaku dan separatis, yaitu membuat pemisahan (baik secara teologis maupun sosial) terhadap siapa saja yang tidak bersedia menerima pokok-pokok pengajaran di atas. Gerakan fundamentalisme muncul sebagai reaksi atas masuknya pengaruh ilmu pengetahuan dan modernisasi ke dalam gereja. Para penganut fundamentalisme menyerukan penolakan terhadap teori evolusi dan penelitian kritis terhadap Alkitab, karena ajaran-ajaran tersebut dianggap mengancam kewibawaan Alkitab. Namun, sikap yang cenderung terlalu kaku dan separatis itu ternyata justru menjadi bumerang bagi kaum fundamentalis sendiri. Popularitas paham fundamentalisme mulai meredup pada tahun 1930-an.
Menyusul redupnya fundamentalisme, gerakan Injili (yang semula disebut Neo-Evangelical) inipun lahir dan segera berkembang dengan pesat di Amerika Serikat. Kelahirannya ditandai dengan terbentuknya National Association of Evangelicals (NAE; Perhimpunan Nasional kaum Injili) pada tahun 1942. Patut dicatat bahwa setahun sebelumnya kelompok fundamentalis telah membentuk sebuah lembaga, yaitu American Council of Christian Churches (ACC). ACC dibentuk sebagai reaksi atas terbentuknya Federal Council of Christian Churches (FCC) yang dianggap sebagai wadah organisasi gereja-gereja yang menganut teologi liberal. Memang, pada waktu itu para teologi liberal juga sedang berusaha menancapkan kukunya di Amerika Serikat. Jadi kehadiran NAE dengan teologinya yang Injili menjadi jawaban alternatif bagi mereka yang menolak teologi liberal, namun juga tidak setuju dengan sikap dan cara-cara yang diperagakan oleh kaum fundamentalis. Keberadaan kaum Injili semakin kuat di Amerika Serikat dengan berdirinya sebuah sekolah teologi Injili, Fuller Theological Seminary (FTS) di Pasadena-California pada tahun 1947, disusul dengan penerbitan majalah kaum Injili, Christianity Today pada tahun 1956. Dan, bendera kaum Injil pun berkibar ke seluruh dunia melalui lembaga-lembaga mitra gereja (parachurch) yang mereka miliki, yaitu Youth for Christ (dengan tokohnya yang terkenal, Billy Graham) dan Campus Crusades for Christ yang fokus pelayanan mereka adalah menjangkau para pemuda dan mahasiswa.
Gerakan Injili masuk ke Indonesia pada tahun 1950-an, baik secara langsung dari Amerika Serikat maupun dari Eropa. Perkembangan teologi Injili di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peranan sekolah-sekolah teologi yang berdiri pada masa itu, antara lain: Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT, berdiri tahun 1952) dan Institut Injili Indonesia (I-3, berdiri tahun 1959). Gerakan Injili di Indonesia juga disuburkan oleh kaum Injili di Jerman yang memberikan dukungan terhadap Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil di Indonesia (YPPII), dan oleh kaum Injili di Inggris melalui Overseas Missionary Fellowship (OMF) yang mengirimkan para misonari mereka untuk melayani di beberapa gereja dan lembaga Kristen di Indonesia. Sedangkan penyebaran di kalangan mahasiswa dilakukan melalui Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia yang merupakan kepanjangan tangan dari Campus Crusades for Christ.
Ajaran dan Sikap
Untuk mendapatkan gambaran sederhana mengenai posisi teologis kaum Injili dalam hubungannya dengan varian teologi yang lain, kita dapat menempatkan empat varian teologi dalam sebuah garis, berturut-turut mulai dari yang paling konservatif:
FUNDAMENTALISME – INJILI – EKUMENIKAL – LIBERAL
Sebagai penerus sekaligus pembaharu fundamentalisme, kaum Injili mewarisi sebagian besar ajaran dan semangat kaum fundamentalis. Kaum Injili menekankan kewibawaan mutlak Alkitab sebagai Firman Allah yang tertulis yang telah diilihamkan sepenuhnya oleh Allah. Kaum Injili juga menekankan pentingnya kelahiran baru dan pengudusan hidup sebagai tanda yang nyata dalam kehidupan seorang Kristen. Kaum Injil juga menekankan bahwa keselamatan dan kehidupan rohani secara pribadi itu lebih penting daripada pelayanan sosial atau kiprah dalam politik, meski tidak harus jatuh ke dalam sikap anti-intelektual. Kesamaan kaum Injili dengan kaum fundamentasis terletak pada semangat mereka untuk menjaga dan memelihara ajaran yang tradisional terhadap ancaman teologi dan budaya modern. Namun, kaum Injili tidak menggunakan cara yang ditempuh kaum fundamentalis. Berbeda dari kaum fundamentalis, kaum Injili menanggalkan sikap yang kaku dan separatis. Sebaliknya, mereka lebih bersikap konstruktif.
Kaum Injili tidak memandang kebudayaan dan ilmu pengetahuan sebagai musuh-musuh iman. Hal ini terlihat misalnya dari sikap Harold Ockenga (1905-1985) yang bersama Charles Fuller memprakarsai berdirinya Fuller Theological Seminary. Menurut Ockenga, tugas kaum Injili adalah “merembesi gereja dan masyarakat ketimbang memisahkan diri dari mereka.” Cara ini jelas merupakan kritik sekaligus perbaikan terhadap cara yang digunakan oleh kaum fundamentalis. Ockenga juga berpendapat bahwa pertanyaan-pertanyaan kritis tentang kekristenan harus ditanggapi dalam kerangka berpikir dan belajar secara modern. Karena itu menurutnya kaum Injili harus mendukung kebebasan intelektual, termasuk dalam penelitian teologi dan studi Alkitab.
Tokoh lain yang terkemuka dalam sejarah gerakan Injili adalah Billy Graham. Billy Graham bahkan dianggap sebagai maskot atau simbol gerakan Injili yang mempunyai hubungan dekat dengan para pejabat di Amerika Serikat. Beliau adalah lulusan Wheaton College, sebuah kampus yang dikenal sangat dipengaruhi paham fundamentalis. Meski demikian, Billy Graham justru menampilkan perbedaan yang mencolok antara kaum Injil dan kaum fundamentalis. Billy Graham dikenal dengan pendekatannya yang inklusif (merangkul) dan menolak pendekatan separatis kaum fundamentalis. Dalam strategi penginjilannya, Billy Graham melibatkan orang-orang yang dikenal berpandangan liberal. Beliau juga punya perhatian dan kepedulian yang besar terhadap berbagai masalah sosial yang ada di masyarakat (politik, hak asasi manusia, kemiskinan, diskriminasi rasial, dan sebagainya). Sayang sekali, tidak semua tokoh dan penganut gerakan Injili memiliki semangat yang sama dengan Ockenga dan Billy Graham. Tidak sedikit kaum Injili yang bersikap kaku dan tertutup, sehingga mereka jatuh pada kesalahan yang sama seperti kaum fundamentalis.
————————-
Sumber:
1. Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (BPK, 1995),
2. Pdt. Dr. Eka Daramaputera, Fundamentalisme, Evangelikalisme, Ekumenikalisme, dan Liberalisme (Catatan Kuliah, tidak diterbitkan)
3. berbagai sumber lain.
apa yang bisa menjadi studi kritis teologi neo-evangelical (injil baru)
ReplyDelete