KOMUNIKASI YANG UTUH DALAM KELUARGA

Ada cuplikan dialog dalam salah satu iklan di televisi, ... ketika seorang ibu bercakap-cakap menggunakan hand-phone dengan anak perempuan dan suaminya di tempat yang terpisah dalam percakapan yang tak utuh demikian, si Anak berkata: “mah aku telat …???.” kemudian sang suami di tempat terpisah dalam waktu berdekatan dari informasi si anak, mengatakan: ”... mah aku sudah dapat ganti yang baru .....???” Dalam benak sang ibu ... berisi berbagai macam prasangka, ketakutan dan kekawatiran. Dengan ekspresi ’stres’ si ibu berteriak: “..apa ??? anakku hamil..???, suamiku kawin lagi...???”

(Masing-masing diajak merenungkan ulang, pernahkah kasus semacam itu terjadi dalam keluarga kita ?)
Ketika komunikasi tidak terjalin secara utuh dan ada informasi yang tak lengkap, maka sangat mungkin terjadi masalah dalam relasi dan dialog. Dan anehnya ini terjadi justru ketika manusia dibanjiri banyak sarana komunikasi moderen (dalam hal ini hand-phone) dengan berbagai merek dan harga yang variatif dengan fitur yang beraneka.

Hand-phone mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi keluarga-keluarga masa kini. Bahkan hand-phone bukan lagi barang mewah yang hanya dimiliki orang-orang tertentu. Hampir sebagian besar masyarakat kita sudah mampu menggunakan dan memiliki.

Bagi keluarga terutama remaja dan pemuda, sarana tersebut bagaikan sahabat karib yang siap menemaninya setiap waktu dan dimanapun, namun sayang keberadaan benda tersebut justru seringkali membuat bangunan komunikasi/dialog dengan hati dan akal budi secara utuh banyak mengalami penurunan/hambatan.

Dialog yang utuh merupakan sarana untuk saling mengungkapkan dan menyampaikan informasi dan berkomunikasi dengan pihak lain. Apa yang kita ingin dan maksudkan dapat diwujudkan melalui komunikasi yang sepihak atau dua belah pihak yang saling bercerita dan bertutur-sapa. Itu berarti komunikasi merupakan kebutuhan mendasar dalam kehidupan manusia. Komunikasi merupakan sarana yang mampu menciptakan hubungan dan interaksi antara dua orang atau lebih, yang saling membutuhkan dan mempunyai kepentingan.

Sebagai makhluk sosial, setiap orang mempunyai kebutuhan untuk berhubungan dan bergaul dengan orang lain. Dalam membangun hubungan tersebut semestinya komunikasi yang dialogis tercipta berdasar perasaan dan akal sehat (komunikasi perasaan dan akal sehat). Dengan begitu manusia dapat menikmati persekutuan yang sesungguhnya dengan orang lain.

Komunikasi dialogis merupakan hal yang sangat menentukan dalam hubungan keluarga. Orang dapat menciptakan hubungan rumah tangga yang harmonis dan membangun komunikasi yang efektif apabila mereka yang ada dalam rumah tersebut bersedia berelasi, memahami kekuatan dan mempunyai kepercayaan diri serta memiliki kemampuan berkomunikasi dan berdialog secara utuh.

Demikian halnya bagi keluarga Kristen, sudah sewajarnya usaha untuk menciptakan dan membangun komunikasi dialogis yang utuh harus didasari dengan ketekunan dan kesungguhan dalam menciptakan dan mewujudkan relasi yang serius dengan Allah, Bapa kita. Bangunan dialog yang baik dari setiap unsur dalam keluarga Kristen akan menolong terwujudnya bangunan dialog yang harmoni dengan sesama yang dijumpai dalam kehidupan.

Kisah dalam Lukas 10: 38-42 menceritakan kehadiran Tuhan Yesus dalam sebuah keluarga, dimana di dalam keluarga itu ada dua cara berbeda dalam menyambut kehadiran-Nya bersama murid-murid.

Wajar bagi Marta, sebagai tuan rumah yang baik, berusaha menyambut para tamunya dengan sesuatu hidangan ala kadarnya. Itu baik, namun ada sesuatu yang dilupakan oleh Marta, ia kurang memberi tempat untuk membangun komunikasi dialogis yang utuh sehingga apa yang menjadi kedalaman isi hati Tuhan Yesus tidak dapat dimengerti benar olehnya. Hal ini berbeda dengan cara Maria menanggapi kehadiran Tuhan Yesus. Dalam ayat 39 dikatakan: ”... Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya”. Maria membuka diri untuk membangun komunikasi dialogis yang utuh. Maria tidak sekedar berkomunikasi secara akali dengan Tuhan Yesus, tetapi dia juga membangun komunikasi perasan dengan Tuhan Yesus, sehingga apa yang menjadi perasaan dan pikiran Tuhan Yesus dimengerti betul olehnya. Keberhasilan dialog dicapai oleh Maria, karena Maria secara utuh membangun komunikasi dengan Tuhan Yesus. Apa yang menjadi isi hati Tuhan Yesus sampai kepada dirinya. Dan itu membuat dia memperoleh bagian yang terbaik bagi hidupnya (ayat 42).

Berbeda dengan Marta, ketika dia tidak mampu menggunakan kesempatan berkomunikasi dialogis secara utuh dengan Tuhan Yesus, maka kekesalan dan kekuatiran yang diperolehnya. Bahkan Marta cenderung menyalahkan orang lain (dalam hal ini Maria) yang dianggapnya tidak peduli dengan kesulitan/kerepotannya.

Melalui kisah ini tampak jelas, bahwa kemampuan membangun komunikasi dialogis yang intens dengan Tuhan Yesus akan membawa seseorang menjadi lebih sejahtera, baik dalam relasi dengan Tuhan maupun sesamanya. Sebaliknya apabila orang tidak mampu membangun komunikasi dialogis yang utuh dengan Tuhan Yesus akan membuahkan kekesalan, kekuatiran dan ’bututnya’ tidak terjalin relasi yang baik dengan Tuhan bahkan sesamanya.

Ada banyak anak dalam keluarga yang apabila memiliki kehendak atau keinginan hanya disampaikan melalui SMS (short message service) kepada orang tua; demikian juga sebaliknya tidak sedikit orang tua yang ’mendampingi’ atau menasehati anak-anak mereka hanya dengan SMS. Tidak lagi terjadi komunikasi perasaan dan akal yang utuh. Tidak lagi ada dialog yang semestinya dengan melibatkan hati dan perasaan seutuhnya. Akibatnya yang terjadi adalah dis-harmoni, dan rentannya bangunan relasi dalam keluarga.

Keluarga adalah unit terkecil sekaligus unit dasar masyarakat, bangsa dan negara. Demikian pula keluarga merupakan unit terkecil dan unit dasar persekutuan hidup bergereja, sehingga keluarga menjadi “soko guru” atau tiang penunjang utama gereja dan masyarakat.

Haruslah makin kita sadari bahwa keluarga merupakan wadah paling ampuh membangun watak, membina karakter, membentuk pribadi dan meletakkan nilai-nilai moral. Keluarga sangat vital bagi keberhasilan dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Apabila dalam keluarga sudah terdegradasi/terkikis kehangatan komunikasi/ dialog yang utuh maka kemungkinan akan terjadi banyak masalah dalam kehidupan bergereja/persekutuan maupun masyarakat.

Bagaimanapun kenyataannya, sebenarnya keluarga bagi anak-anak merupakan wadah untuk memenuhi kebutuhan mereka yang mendambakan keakraban dan kehangatan, memupuk rasa percaya diri sendiri dalam pergaulan dengan Allah dan orang lain, maupun juga dalam pengambilan keputusan dan tindakan sendiri. Peran dan tanggung jawab orangtua dalam pembinaan iman kepada anak-anak adalah dengan memberi pengajaran Kristen yang benar dan terus membangun komunikasi dialogis yang utuh dalam rangka menciptakan persekutuan hidup keluarga yang damai, bersukacita dan sejahtera. Persekutuan yang terbangun melalui komunikasi dialogis yang utuh dalam keluarga merupakan sumber-sumber kebahagiaan hidup dan nilai-nilai hidup yang sangat berharga.

Orang-tua harus bisa mengajarkan dan memberi teladan kepada anak-anak untuk patuh kepada sesuatu yang telah disepakati bersama dalam keluarga, termasuk penggunaan sarana komunikasi yang ada secara benar dan tepat. Tujuan semua aturan dan disiplin dalam keluarga tidak sekadar agar anak patuh kepada orangtuanya melainkan menjadikan aturan itu sebagai alat pengajaran.

Kemajuan Ilmu pengetahuan dan tehknologi, khususnya dengan adanya hand-phone sebagai salah satu sarana komunikasi hendaknya dapat dipergunakan secara proporsional dan tepat. Bila sarana tersebut dapat digunakan secara tepat, pasti keberhasilan komunikasi dialogis yang utuh juga terwujud dan memiliki manfaat yang besar bagi terwujudnya kehidupan bersama yang lebih baik

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KOMUNIKASI YANG UTUH DALAM KELUARGA"

Post a Comment