Selama ini memang bu Teti tidak bisa berbuat banyak. Walau dia sudah berkali-kali mengingatkan dan meminta agar memutuskan hubungan dengan lelaki pujaannya, namun bu Teti tidak punya banyak kekuatan. Disamping karena Rina bersikeras, ibu Teti sebenarnya sangat kuatir kalau-kalau hubungan dengan anak angkatnya akan berubah semakin runyam. Apalagi sekarang ini Rina sudah tahu rahasia yang selama ini berusaha disimpan bu Teti dengan rapat. Rina itu memang bukan anak kandungnya, tetapi anak pungut yang diambil dari saudaranya. Ia sendiri merasa tercipta sebagai wanita kurang sempurna. Sudah sepuluh tahun dia menikah dengan Pak Edo, tetapi tetap tidak dikarunia seorang anak. Pak Edo telah difonis mandul oleh dokter setelah pernah kecanduan narkoba di masa mudanya, sementara itu ibu Teti memiliki penyakit kista, sehingga kandungannya terpaksa harus diangkat. Makanya dua puluh tahun lalu ia memutuskan untuk mengadopsi Rina menjadi anaknya. Semua telah bu Teti curahkan untuk Rina anaknya. Kasih sayang dan perhatian telah ia berikan semuanya. Bahkan segala usaha ia lakukan demi menghidupi anak angkatnya. Bu Teti berjualan, keliling desa dan itu ia lakukan demi mencukupi kebutuhan sekolahnya. Dengan rajin pula Bu Teti selalu berusaha mendidiknya dalam iman. Walau merasa bukan sebagai orang tua yang taat, tetapi ia selalu berusaha mendorong Rina agar rajin pergi ke gereja. Setiap saatpun selalu diingatkan untuk selalu membaca firman Tuhan. Waktu itu ia ingat sekali bagaimana Rina kecil menjadi bersemangat sekali pergi ke Sekolah Minggu setelah dibelikan Alkitab bergambar, dari hasil jualannya.
Sebenarnya bu Teti tidak banyak berharap, kecuali memberikan yang terbaik untuk anaknya. Ia sadar Tuhan tidak mempercayakan dirinya melahirkan anak dari buah kandungannya sendiri. Tetapi ibu Teti ingin agar kepercayaan yang diberikan Tuhan untuk merawat anak-angkat itu dapat ia gunakan dengan baik, sekalipun itu bukan anak kandungnya. Itu sudah suatu berkat yang luar biasa. Tetapi siapa yang kuat, disaat seorang ibu yang berupaya dengan tulus merawat anak saudaranya seperti anak sendiri dan sedang ingin menikmati buah dari jerih payahnya, tetapi malah menerima kenyataan anak tersebut tidak mau menuruti nasihat orang tua dan malah digugat oleh anak itu, karena tahu dirinya bukan anak kandungnya. Tentulah semua orangtua tidak mengharapkan hal ini terjadi.
Saudara-saudara yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus, sepenggal cerita tadi hanyalah sebagian dari tantangan pergumulan kita dalam kehidupan berumah tangga. Barangkali diantara kita akan ada yang menghadapi hal yang seperti itu, atau mengalami masalah dalam membangun relasi kita sebagai orang tua dengan anak-anak kita; demikian juga mengalami berbagai masalah dalam mengasuh dan mendidik anak-anak kita.
Belajar dari firman Tuhan pada hari ini, kita diingatkan oleh Firman Allah berapa pentingnya mengenalkan firman Tuhan dalam setiap kesempatan hidup kita. Dalam ayat 6-9 dikatakan demikian: “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apa bila engkau berbaring, apa bila engkau bangun. Haruslah engkau mengikatnya sebagai tanda pada tanganmu. Dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu. “
Dari ayat ini kita tahu bahwa Tuhan menghendaki agar umat Israel senantiasa mengajarkan perintah Tuhan kepada anak-anaknya dalam setiap kesempatan. Hal itu dilakukan dengan mengajarkan berulang-ulang dan membicarakannya dalam setiap kesempatan. Itu berarti bahwa orang tua harus memiliki kesetiaan dan komitmen secara terus menerus untuk mendidik dalam iman. Kesempatan itu harus dilakukan dalam setiap kegiatan hidup manusia, dari ketika bangun tidur sampai tidur lagi, pada saat bekerja ataupun pada waktu beristirahat. Kesadaran yang demikian dimiliki oleh umat Israel setelah mereka hidup menetap di Kanaan. Panggilan yang demikian dilakukan untuk senantiasa mengingat akan perintah Tuhan sekaligus untuk selalu mengingat kebesaran karya Tuhan pada saat mereka dituntun Tuhan keluar dari tanah Mesir menuju Kanaan. Dalam ayat 2 dikatakan: “ …. supaya seumur hidupmu engkau dan anak cucumu takut akan Tuhan, Allahmu, dan berpegang pada segala ketetapan dan perintahNya yang kusampaikan kepadamu, dan supaya lanjut umurmu.”
Maka marilah melalui renungan kita pada hari ini kita terdorong untuk selalu memperkenalkan iman kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh dalam setiap langkah gerak kita. Tidak ada kata terlambat untuk senantiasa memulai kembali komitmen kita untuk menjadi teladan bagi anak-anak kita dan terus giat mengenalkan iman kepada anak-anak kita. Kita berharap dengan kesungguhan itu mereka akan memiliki bekal iman yang kuat untuk menghadapi realita kehidupannya. Tidak ada kata gagal bersama Tuhan. Jika kita menghadapi kekecewaan pada hari ini, mestinya itu menjadi evaluasi untuk kita semua: apakah kita sudah mengajarkan firman Tuhan dengan sungguh-sungguh dalam keluarga kita atau belum. Barangkali dengan kondisi yang mengecewakan hari ini, Tuhan akan memakai kita lebih baik lagi di masa mendatang untuk mendidik anak-anak kita di dalam iman. Tuhan memberkati. Amin.
0 Response to "TUHAN, APAKAH AKU GAGAL MENDIDIK KELUARGAKU"
Post a Comment