Sebuah kisah nyata. Ada seorang janda yang tinggal bersama anak lelakinya yang telah berkeluarga. Karena sakit, anak janda itu meninggal dan ia hidup dengan menantunya. Janda itu tidak memiliki penghasilan tetap begitu juga dengan menantunya. Mereka harus berjuang dengan keras untuk bertahan hidup. Suatu hari, janda itu dimintai tolong (jawa: disambati) oleh keponakannya yang sedang mengalami konflik rumah tangga. Keponakannya itu mau tinggal dirumahnya bersama dengan isterinya yang sedang mengandung 9 bulan. Mendengar permintaan keponakannya, janda itu menerima dengan senang hati sekalipun ia sadar bahwa keadaanya sendiri tidaklah begitu mapan. Kalau ia menerima keponakannya itu beserta isterinya, berarti ia harus bekerja lebih keras lagi untuk mempertahankan hidupnya dan seisi rumahnya. Namun ia tidak terpaku dengan keadaan dan kesulitan yang sedang dihadapinya. Di tengah kesulitannya, ia tetap mau mengulurkan tangan dan membuka hati untuk menolong orang lain. Yang membuat ia melakukan semua itu, tidak lain karena ia percaya akan pertolongan Tuhan, yang senantiasa membuka pertolongan bagi anak-anak-Nya. Demikianlah janda itu berkata, “ Tuhan pasti akan menolong kita”.
Berbeda dengan janda tadi, betapa sering niat hati yang baik dan mulia, tidak menjadi kenyataan karena keadaan yang tidak mendukung. Misalnya saja ketika kita mau memberi pertolongan kepada seseorang yang membutuhkan. Niat itu semula ada tetapi mendadak batal karena dalam waktu yang bersamaan, kita diperhadapkan dengan kubutuhan lain. Sebagai contoh, handphone rusak dan perlu ganti, salah satu anggota keluarga sakit dan butuh biaya perawatan, rumah bocor dan dibutuhkan dana untuk membenahinya, dan yang lainnya. Ada niat tetapi tidak terlaksana.
Dalam bacaan kita saat ini, kita melihat ada sesuatu yang berbeda dari apa yang sering kita alami. Yesus yang saat itu sedang tergantung di atas kayu salib, merasakan kesakitan yang begitu rupa, tidak melupakan dan mengabaikan orang-orang yang ada di sekeliling-Nya. Yesus tidak terfokus pada diri sendiri tetapi tetap memperhatikan orang lain. Itu terlihat dari perkataan-Nya kepada ibu-Nya yang saat itu sangat berdukacita. Yesus berkata ‘Ibu, inilah anakmu’. Lalu Ia berkata juga kepada Yohanes ‘Inilah ibumu’. Dengan perkataan itu Yesus mau berkata kepada ibu-Nya: Ibu, engkau sangat berdukacita, tetapi ada seorang yang dapat menghibur engkau, yaitu Yohanes, murid-Ku. Yesus menghibur dan menguatkan ibu-Nya, begitu juga terhadap Yohanes. Penderitaan Yesus tidak menjadi penghalang bagi-Nya untuk tetap memperhatikan orang lain.
Dari perenungan ini, ada pertanyaan yang dapat kita renungkan. Mungkinkah kita meneladani apa yang telah diperbuat Yesus di atas kayu salib dan juga janda dalam kisah nyata tadi? Mungkinkah kita tetap dapat memperhatikan orang lain sekalipun kita sendiri berada dalam keadaan yang tidak baik atau berada dalam penderitaan? Mungkinkah penderitaan yang sedang kita alami tidak menjadi penghalang bagi kita untuk mewujudkan kasih kita kepada yang lain? Ada sebuah ungkapan yang mungkin juga dapat menginspirasi kita untuk selalu berbuat baik yaitu : jangan pernah menyesal telah berbuat baik. Amin.
0 Response to "PEMBACAAN YOHANES 19:25-27"
Post a Comment