”Ini terimalah kepunyaan Tuan!” Adakah yang salah dalam kalimat ini? Tak ada yang salah, bukan? Semua serbabenar! Apa yang dia miliki memang milik tuannya.
Hamba yang menerima satu talenta itu mungkin juga benar ketika dia berkata dengan pongahnya: ”Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam.”
Lalu di mana salahnya? Mengapa pula sang tuan menanggapinya dengan sama kerasnya? Bukankah semua yang dikatakan hamba itu serbabenar? Lalu, mengapa tuan itu menghukum hamba tersebut?
LUPA STATUS
Tuan itu menghukum hamba yang menerima satu talenta itu karena dia lupa akan statusnya sebagai hamba. Bukankah seorang hamba seharusnya menyenangkan hati tuannya? Lalu, mengapa pula dia merasa lebih baik, lebih bermoral dari tuannya, bahkan menghakimi tuannya. Bukankah tanpa tuannya itu dia bukan siapa-siapa? Mungkinkah ada seorang hamba tanpa seorang tuan?
Berkait hubungan tuan-hamba, tanpa seorang tuan, hamba itu tak akan pernah berstatus hamba. Kalau tuan itu mah, statusnya tetap karena masih ada hamba-hambanya yang lain. Sedangkan hamba, ya dia harus mencari tuan lainnya dan melamar sebagai hamba. Tetapi, pertanyaannya lagi: apakah ada yang mau menerimanya menjadi hamba.
Di situlah persoalan terbesar hamba yang menerima satu talenta itu. Dia lupa status. Dia lupa, hidupnya bergantung mutlak kepada tuan itu. Hidup seorang hamba bergantung penuh kepada tuannya. Sekali lagi, tanpa seorang tuan, dia sama sekali tak berhak menyandang status hamba.
JAHAT DAN MALAS
Kealpaan status itulah yang menyebabkan hamba penerima satu talenta itu mendapat julukan jahat dan malas. Hamba itu benar ketika menilai tuannya. Tidak ada yang salah. Bahkan tuan itu pun mengamini apa yang dikatakannya. Tetapi, di mata sang tuan hamba itu jahat dan malas.
Dia benar, tetapi jahat. Jahat karena bertindak selaku parasit. Dia hanya mau mengambil sesuatu dari tuannya, tetapi tidak mau memberi sesuatu kepada tuannya. Artinya: dia hidup dari gaji buta. Tak bekerja, tetapi ingin hidup.
Hamba yang menerima lima dan dua talenta dijuluki sang tuan, mendapat julukan hamba-hamba yang baik. Mereka dianggap baik karena tak hanya mau menerima tetapi juga mau memberi. Mereka tak hanya menerima kehidupan sebagai hamba—makanan pasti terjamin—tetapi mereka mau memberi sesuatu kepada tuannya. Mereka tidak hidup sebagai parasit. Mereka merasa perlu bertindak yang terbaik.
Hamba yang menerima satu talenta itu memang benar, tetapi malas. Malas karena dia tidak berbuat apa-apa. Malas karena dia bekerja selagi ada tuannya. Kala sang tuan tidak ada di tempat maka dia bertindak sesuka hatinya. Hamba yang menerima lima dan dua talenta itu mendapat julukan hamba yang setia. Setia karena ada atau tak ada sang tuan, kualitas pekerjaan itu sama baiknya. Kesetiaan sejati terlihat ketika seorang hamba tak ada yang mengawasi. Jika kualitas sama baiknya, maka dia dapat dikatakan sebagai hamba yang setia.
KESETIAAN
Orang yang menangani perkara besar dan perkara kecil dituntut untuk setia. Setia berarti menjalankan tugas itu dengan sebaik-baiknya.
Setia berarti tidak berhenti di tengah jalan. Tidak mutung. Setia berarti melaksanakan tugas hingga selesai. Mungkin, persoalannya sering memang di sini. Kadang dalam gereja, kita semangat di awal pelayanan dan sedikit kendor di tengah, dan kalau nggak tahan malah mundur dari pelayanan. Apa lagi, jika udah nggak dibayar ada orang yang malah menyalahkan kita.
Kesetiaan berkait pula dengan stamina. Jangan hanya semangat di awal, tetapi semangat pelayanan seharusnya terus menyala hingga akhir. Stamina berarti berkaitan erat dengan ketahanujian atau ketahanbantingan seseorang. Tidak cepat putus asa merupakan panggilan seorang pelayan.
Kesetiaan bukan hal mudah. Betapa sering manusia berubah pikiran dan tidak menjalankan tugasnya dengan baik, bahkan meninggalkannya. Dalam pelayanan, biarlah Tuhan sendiri yang menentukan waktu kita harus berhenti. Sebab Dialah Tuhan kita.
KEPERCAYAAN
Hamba yang menerima satu talenta itu tak bersikap sebagai orang yang layak dipercaya. Para hamba itu merupakan orang kepercayaan. Jika tidak, mana mungkin tuan itu mempercayakan hartanya. Mereka adalah orang-orang yang dipercayai. Kehambaan seseorang memang bertumpu pada kepercayaan. Modal dasar seorang hamba adalah kepercayaan.
Berkait dengan kerajaan surga, hanya ada satu raja—Allah sendiri—dan yang lainnya hamba. Dan Allah mempercayai manusia. Perhatikan dengan cermat: yang mempercayai kita bukanlah manusia, tetapi Allah sendiri. Bayangkan: Allah mempercayai kita! Allah mempercayai manusia.
Menjadi orang kepercayaan memang tidak mudah. Tetapi, ingatlah bahwa Allah telah memanggil kita untuk mempercayai kita! Dia memanggil kita untuk memberikan kepercayaan kepada kita.
Bagaimanakah tanggapan kita terhadap kepercayaan Allah itu? Apakah kita termasuk orang-orang yang layak dipercaya?
Hamba yang menerima satu talenta itu menyia-nyiakan kepercayaan tuannya. Tuannya mempercayakan hartanya, tetapi dia sendiri merasa itu tetap harta tuannya. Itu memang benar. Tetapi, kalau harta tuannya bertambah, bukankah berarti kesejahteraannya juga meningkat?
Musa
Lalu bagaimana dengan kita? Allah telah mempercayakan banyak hal kepada kita. Kepercayaan yang terbesar adalah hidup itu sendiri. Tak sekadar hidup; tetapi hidup yang telah diselamatkan-Nya. Pertanyaannya: apakah kita telah melipatgandakan hidup kita? Apakah hidup kita itu akhirnya hanya untuk diri kita sendiri saja atau juga untuk orang lain?
Hidup kita memang milik Allah, yang dipercayakan kepada kita. Oleh karena itu, marilah kita berdoa seperti pemazmur: ”Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mzm 90:12)
Musa tidak minta harta, kuasa, kedudukan, atau keturuanan. Dia hanya ingin belajar. Dalam kapasitasnya sebagai orang yang cerdas, lagi berpengalaman, di zamannya, Musa sadar bahwa dia tidak tahu dengan pasti: apakah hidup itu? Sehingga dia meminta Tuhan mengajarkan makna hidup itu kepadanya. Musa sungguh-sungguh menyadari bahwa jalan hidup di depannya merupakan sesuatu yang gelap dan tidak pasti. Oleh karena itu, dia memohon: ajarlah kami!
Dan semuanya itu bukan tanpa tujuan. Tujuannya bukanlah pengetahuan tentang kehidupan itu sendiri. Tetapi, dia ingin mendapatkah hati yang bijaksana. Pelajaran tentang hidup bukan untuk kepuasan otak, tapi hati yang lebih bijak. Hati yang arif untuk menentukan apa yang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan manusia.
Ajarlah kami menghitung hari-hari kami. Dengan kata lain: Ajarlah kami untuk mengerti jalan hidup yang harus kami tempuh. Dan itu hanya kita dapatkan dengan tidak melewatkan hari sebagai sesuatu yang biasa. Kita perlu melihat hari sebagai sesuatu yang berharga untuk dipelajari. Sebuah hari bukanlah sekadar nama atau sejumlah waktu, tetapi merupakan anugerah dan kesempatan. Kita dapat belajar banyak darinya. Dengan senantiasa bertanya: apakah hikmah yang saya dapat petik hari ini sebagai modal kita dalam mengisi hari-hari mendatang.
Ajarlah kami menghitung hari-hari kami. Berarti kita sadar, tanpa kemarin tidak akan ada hari ini, dan tanpa hari ini tak akan ada esok. Penting bagi kita belajar dari hari-hari ini, sebagai bekal dalam perjalanan hidup selanjutnya. Penting bagi kita belajar hari ini, agar kita mendapatkan hati yang bijaksana. Dengan kata lain, mengutip surat Paulus kepada jemaat di Tesalonika, supaya kita hidup bersama-sama dengan Dia (1Tes 5:11).
Zefanya pun menasihatkan hal yang sama kepada umat Allah: ”Berdiam dirilah di hadapan Tuhan ALLAH! (Zef 1:7). Berdiam diri di hadapan Tuhan berarti tetap ingat status sebagai hamba Tuhan. Itu berarti bersikap dan bertindak selaku hamba Tuhan. Tak mudah memang. Oleh karena itu, marilah kita berdoa bersama dengan Musa: ”Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana!”
Sumber : Khotbah Jangkep GKJ
0 Response to "Bahan Khotbah : AJARLAH KAMI MENGHITUNG HARI-HARI KAMI!"
Post a Comment