Kata kanon berasal dari akar kata “gelagah” (dalam bahasa Inggris cane; dalam bahasa Ibrani ganeh dan dalam bahasa Yunani kanon). “Gelagah” itu dipakai sebagai alat pengukur panjang dan pada akhirnya berarti “standar.”
Origen menggunakan kata “kanon untuk menyatakan apa yang kita sebut ‘hukum iman,’ patokan yang harus kita pakai untuk mengukur dan mengevaluasi . . .” Kemudian kata itu diartikan dengan “daftar” atau “indeks.” Kata “kanon” jika dipakai dalam hubungan dengan Kitab Suci berarti “daftar buku yang diterima secara resmi.”
Hal yang perlu diingat adalah bahwa gereja tidak menciptakan kanon atau buku-buku yang dimasukkan dalam sebuah buku yang kita sebut Kitab Suci. Sebaliknya, gereja mengakui bahwa buku-buku itu diwahyukan sejak semula. Kitab-kitab itu diwahyukan Allah pada saat kitab-kitab itu ditulis.
Kelayakan Buku Untuk Dikanonkan
Kita tidak dapat mengetahui dengan pasti kriteria apa yang dipakai oleh gereja pada tahap awal untuk memilih kitab-kitab kanonik. Mungkin ada lima prinsip yang dipakai sebagai penuntun dalam menetapkan apakah sebuah kitab Perjanjian Baru bersifat kanonik atau bernilai sebagai Kitab Suci. Geisler dan Nix mencatat kelima prinsip ini:
Kitab itu harus berotoritas – apakah berasal dari tangan Allah? (Apakah kitab ini hadir dengan ungkapan “demikianlah Firman Allah” yang bersifat ilahi?)
Apakah berasal dari para nabi? – apakah ditulis oleh manusia utusan Allah?
Apakah kitab itu otentik? (Bapa-bapa Gereja berprinsip “jika meragukan, buang saja.” Hal ini menambah “keabsahan ketajaman mereka di dalam memandang kitab-kitab kanonik.”)
Apakah kitab itu dinamik? – apakah kitab itu disertai oleh kuasa Allah yang mampu mengubah kehidupan manusia?
Apakah kitab itu diterima, dikumpulkan, dibaca dan dipergunakan? – apakah kitab itu diterima oleh umat Allah? Petrus mengakui karya Paulus sebagai Kitab Suci, setara dengan Kitab Suci Perjanjian Lama (II Petrus 3:16
0 Response to "Kanon"
Post a Comment