Kanon Perjanjian Baru

Kelayakan Buku Untuk Dikanonkan dalam Perjanjian Baru

Faktor dasar untuk menetapkan sifat kanonik Perjanjian Baru adalah pewahyuan oleh Allah, dan ujian utamanya, kerasuliannya.

Geisler dan Nix menjelaskan lebih lanjut hal tersebut:
“Di dalam istilah Perjanjian Baru, gereja ‘dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi’ (Efesus 2:20) yang berdasarkan janji-Nya, akan Kristus pimpin ke dalam ‘seluruh kebenaran’ (Yohanes 16:13) melalui Roh Kudus. Dikatakan bahwa gereja di Yerusalem tetap bertekun ‘dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan’ (KPR 2:42). Istilah ‘rasuli’ pada saat dipakai untuk menguji kekanonan tidak perlu diartikan ‘ditulis oleh rasul,’ atau ‘yang dipersiapkan di bawah arahan para rasul. . . .’

“Nampaknya lebih baik apabila kita menyetujui pandangan Gaussen, Warfield, Charles Hodge, dan sebagian besar kaum Protestan bahwa yang menjadi ujian primer atas kekanonan adalah otoritas rasuli, atau persetujuan dari para rasul, bukan semata-mata dikarang oleh para rasul.”

N. B. Stonehouse menulis bahwa otoritas rasuli “yang berbicara lantang dalam Perjanjian Baru tidak pernah terpisah dari otoritas Tuhan. Di dalam surat-surat kiriman ada pengakuan yang tetap bahwa di dalam gereja hanya ada satu otoritas absolut, otoritas Tuhan sendiri. Di manapun para rasul berbicara dengan otoritas, mereka bertindak demikian sebagai perwujudan pendayagunaan otoritas Tuhan. Jadi, misalnya, ketika Paulus mempertahankan otoritasnya sebagai seorang rasul, ia mendasarkan pernyataannya semata-mata dan secara langsung pada amanat yang diberikan Tuhan kepadanya (Galatia 1 dan 2); ketika ia menyandang wewenang untuk mengatur gereja, ia memohon otoritas Tuhan bagi kata-katanya, bahkan ketika tidak ada firman Tuhan yang secara langsung telah disampaikan (I Korintus 14:37; bd. I Korintus 7:10). . . .”

Buku-buku Kanonik Perjanjian Baru

Mengapa perlu menetapkan pengkanonan Perjanjian Baru? Tiga buah alasan:
Seorang penyesat, Marcion (140 M.), menetapkan kanonnya sendiri dan mulai menyebarluaskannya. Gereja perlu menangkal pengaruhnya dengan jalan menetapkan yang manakah kanon Perjanjian Baru yang sebenarnya.

Banyak gereja Timur menggunakan buku-buku dalam kebaktian mereka, dan buku-buku itu palsu. Hal itu memerlukan keputusan untuk menetapkan kanon.

Undang-undang Diocletian (303 M.) mencanangkan penghancuran kitab-kitab suci milik orang Kristen. Siapakah yang rela mati hanya untuk sebuah kitab agamawi? Mereka perlu tahu!

Athanasius dari Iskandariyah (367 M.) memberikan kepada kita daftar tertua kitab-kitab Perjanjian Baru yang sama dengan daftar Perjanjian Baru kita saat ini. Daftar tersebut dicantumkannya dalam surat pesta yang ditujukan kepada gereja-gereja.

Tidak lama sesudah Athanasius, dua orang penulis, Jerome dan Agustinus, mendefinisikan pengkanonan ke-27 kitab itu.

Polikarpus (115 M.), Clement dan orang-orang lain mengacu kepada kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan ungkapan “sebagaimana dikatakan dalam kitab-kitab suci ini.”

Justin Martyr (100-165 M.), mengacu kepada Perjamuan Kudus, menulis di dalam kitabnya berjudul First Apology 1.67: “Dan pada hari yang disebut Minggu ada perkumpulan di suatu tempat dari semua orang yang tinggal di kota-kota dan di pedesaan, dan riwayat para rasul atau tulisan para nabi dibacakan, sesuai dengan waktu yang tersedia. Lalu ketika sang pembaca selesai membacakannya, pemimpinnya memberikan nasihat dan undangan untuk mengikuti hal-hal baik ini.” Ia menambahkan dalam Dialoguenya dengan Trypho (h. 49, 103, 105, 107) ungkapan “Ada tersurat,” untuk mengutip dari Injil. Baik dia maupun Trypho seharusnya telah mengetahui ungkapan “Ada tersurat” itu menunjuk kepada apa.

Irenaeus (180 M.)
F. F. Bruce menulis tentang pentingnya Irenaeus: “Pentingnya bukti terletak pada hubungannya dengan zaman rasul-rasul dan di dalam hubungan-hubungan oikoumenisnya. Ia dibesarkan di Asia Kecil di bawah kaki Polikarpus, murid Yohanes, ia menjadi bisop di Lyons di Gaul, pada tahun 180 M. Tulisannya memberikan pengesahan pada pengakuan kanonik atas keempat Injil dan Kisah Para Rasul, atas surat Roma, I dan II Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, I dan II Timotius, dan Titus, atas I Petrus dan I Yohanes dan atas surat Wahyu. Di dalam perjanjiannya, Against Heresies, III,ii,8, terlihat jelas bahwa pada tahun 180 M. gagasan tentang Injil empat sekawan itu telah menjadi demikian jelas di seluruh lingkungan Kekristenan sehingga dapat diacu sebagai fakta yang sudah kokoh, yang demikian jelas dan tidak dapat dihindari dan demikian wajar sebagaimana keempat mata angin pada kompas (sesuai dengan namanya) atau keempat penjuru angin.”

Ignatius (50-115 M.): “Saya tidak berharap untuk memberikan perintah kepada Sau-dara seperti yang dilakukan Petrus dan Paulus; mereka adalah rasul. . . .” Trall.3.3.

Konsili Gereja. Keadaannya sama dengan Perjanjian Lama (bd. B,6, Konsili Jamnia). F. F. Bruce menyatakan bahwa “ketika pada akhirnya Konsili Gereja – Sinode Hippo pada tahun 393 M. – menetapkan daftar kedua puluh tujuh kitab Perjanjian Baru, sinode itu tidak memberikan kepada konsili itu otoritas yang tidak mereka miliki, namun hanya mencatat pengkanonan yang sudah ada dan sudah mapan. (Ketetapan Sinode Hippo ini diumumkan kembali empat tahun kemudian oleh Sinode Ketiga di Kartago.)” Sejak saat itu, tidak pernah ada keraguan yang serius tentang ke-27 kitab Perjanjian Baru yang telah diterima baik oleh kalangan Katolik Roma maupun kalangan Protestan.
Apokrifa Perjanjian Baru

Surat Kiriman Pseudo-Barnabas (70-79 M.)
Surat Kiriman kepada Orang-orang Korintus (96 M.)
Homili Kuno, juga disebut Surat Kedua Klemen (120-140 M.)
Gembala Hermas (115-140 M.)
Didakhe, Pengajaran Dua Belas Rasul (100-120 M.)
Wahyu Petrus (150 M.)
Kisah Paulus dan Thekla (170 M.)
Surat kepada Jemaat Laodikea (abad ke-4?)
Injil menurut Orang Ibrani (65-100 M.)
Surat Polikarpus kepada Orang-orang Filipi (108 M.)
Tujuh Surat Kiriman Ignatius (100 M.)
Dan masih banyak lagi lainnya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kanon Perjanjian Baru"

Post a Comment